Tugas Manajemen Satwa Liar dan Dinamika Populasi (1)

RANGKUMAN EKOLOGI DARI TAKSA HERPETOFAUNA(AMFIBI DAN REPTIL) DAN KUPU-KUPU


Disusun Oleh :
NUR APRIYANI STELLA (D1D013052)
B , V


Dosen Pengampu :
NOVRIYANTI S.HUT.,M.SI.






JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS JAMBI
2016


Rangkuman
1.    Herpetofauna (Amfibi dan Reptil)

Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “herpeton”yang berarti melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi herpetofauna adalah binatang-binatang yang melata. Herpetofauna sendiri memiliki ukuran tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki keseragaman yaitu berdarah dingin/poikilotermik. Fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungannya. Kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2 kelas yaitu, kelas amphibia dan reptilia berdasarkan beberapa ciri yang berbeda dan mencolok. Kedua kelas herpetofauna tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa Ordo yang kemudian akan berlanjut lagi ke famili.

1.      Amfibia
Merupakan hewan yang hidup di 2 habitat atau alam, yaitu perairan dan daratan. Herpetofauna yang satu ini memiliki kelembaban kulit yang tinggi dan tidak tertutupi rambut. Menurut, (Goin & Goin,1971), klasifikasi dan sistematika amfibi adalah sebagai berikut:
Kingdom         : Animalia
Filum               : Chordata
Sub-filum        :Vertebrata
Kelas               : Amphibia
Ordo                : Gymnophiona, Caudata dan Anura.
Walaupun sedikit, amfibi merupakan satwa bertulang belakang yang pertama berevolusi untuk kehidupan di darat dan merupakan nenek moyang reptile (Halliday & Adler 2000). Di Indonesia terdapat 10 famili dari Ordo Anura yang ada di dunia. Famili tersebut adalah Bombinatoridae (Discoglossidae), Megophryidae (Pelobatidae), Bufonidae, Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Microhylidae, Pelodryadidae, Ranidae, Rhacophoridae dan Pipidae (Iskandar 1998).
Ordo Gymnophiona atau yang lebih dikenal dengan sebutan sesilia merupakan satwa yang dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya di alam. Jumlah jenis dari Ordo ini adalah sebanyak 170 jenis dari seluruh jenis amfibi. Ichthyophiidae merupakan salah satu famili yang terdapat di Asia Tenggara. Tidak semua ordo dalam kelas amfibi terdapat di Indonesia. Ordo Caudata merupakan satu-satunya ordo dari Amfibi yang tidak terdapat di Indonesia. Ordo Anura terdiri dari katak dan kodok. Saat ini terdapat lebih dari 4,100 jenis Anura di dunia dan di Indonesia memiliki sekitar 450 jenis atau 11% dari seluruh anura di dunia (Iskandar 1998).
Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai, kolam dan danau (Mistar 2003). Kebanyakan dari amfibi hanya bisa hidup di air tawar, namun jenis seperti Fejervarya cancrivora diketahui mampu hidup di air payau (Iskandar 1998). Sebagian katak beradaptasi agar dapat hidup di pohon. Walaupun sangat tergantung pada air, katak pohon seringkali tidak turun ke air untuk bertelur. Katak pohon melakukan kawin dan menyimpan telurnya di vegetasi/pohon di atas air. Saat menetas berudu katak akan jatuh ke dalam air (Duellman & Heatwole 1998). Selain itu, juga terdapat katak yang menyimpan telurnya di lubang berair pada kayu dan tanah, di punggung betina atau membawa ke daerah dekat air (Duellman & Trueb 1994).
Ordo Gymnophiona terdapat di wilayah tropis dan subtropis (Nussbaum 1998). Di Indonesia terdapat Ordo Gymnophiona dapat ditemukan di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Ordo Caudata tidak ditemukan di Indonesia, tetapi daerah terdekat yang dapat ditemukan ordo ini adalah Vietnam Utara dan Thailand Utara (Iskandar 1998). Ordo Anura terdapat di seluruh Indonesia dari Sumatera sampai Papua (Iskandar 1998). Amfibi yang ditemukan di Sumatera terdiri atas Ichtyophidae, Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, Rhacophoridae (Iskandar & Colijn 2000). Katak di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan dan Jawa berasal dari wilayah gugusan Sunda Besar. Katak yang terdapat di Semenanjung Malaysia memiliki kesamaan jenis yang tinggi dengan katak yang terdapat di Sumatera. Tingkat kesamaan jenis katak di Jawa dengan Sumatera lebih tinggi dibandingkan dengan kesamaan jenis katak di Jawa dengan Kalimantan (Inger & Voris 2001).
Beberapa contoh spesies amfibi yang diprioritaskan untuk dilindungi Barboula kalimantanensis, Leptophryne cruentata(kodok merah).
Pada dasarnya semua amfibi adalah karnivora, untuk jenis amfibi yang berukuran kecil makanan utamanya adalah artropoda, cacing dan larva serangga. Untuk jenis amfibi yang berukuran lebih besar makanannya adalah ikan kecil, udang, kerang, katak kecil atau katak muda, kadal kecil dan ular kecil. Pada saat berudu, kabanyakan merupakan herbivora. Ada jenis-jenis tertentu yang bersifat karnivora dan tidak memerlukan makan sama sekali. Kebutuhan makanan sudah tercukupi dari kuning telurmya (Iskandar 1998). Sebagian besar amfibi mencari makan dengan strategi diam dan menunggu (Duellman & Carpenter 1998).


2.      Reptilia
Reptil adalah hewan bertulang belakang yang bersisik dan bernapas dengan paru-paru. Ciri utama reptil adalah tubuhnya yang ditutupi dengan sisik-sisik rata atau berduri yang berfungsi untuk mengatur sirkulasi air melalui kulitnya. Tidak seperti ikan, sisik reptil tidak saling terpisah. Reptil termasuk satwa ektotermal karena memerlukan sumber panas eksternal untuk melakukan kegiatan metabolismenya. Pada daerah yang terkena sinar matahari yang cukup, reptil sering dijumpai berjemur pada pagi hari untuk mencapai suhu badan yang dibutuhkan (Halliday dan Adler 2000).
Hampir semua reptil adalah ovipar atau bertelur, dan sebagian lagi ovovivipar. Reptil dapat bersifat ovipar maupun ovovivipar walaupun termasuk dalam genus yang sama. Perbedaan sifat tersebut dapat ditemukan juga pada jenis yang sama, pada dua populasi berbeda (Goin dan Goin 1971). Menurut Savage (1998) reptil memiliki taksonomi sebagai berikut:
Kingdom         : Animalia
Filum               : Chordata
Sub-filum        : Vertebrata
Kelas               : Reptilia
Sub Kelas        : Eureptilia
Super Ordo     : Lepidosauria, Testudines, Archosauria
Ordo                :Testudines, yaitu kura-kura; Squamata, yaitu kadal, ular, dan amphisbaenia; Rhynchocephalia, yaitu tuatara dan Crocodylia, yaitu buaya.
Obst (1998) menyebutkan bahwa reptil terdiri dari 64 famili, sekitar 987 genus dengan 7.427 spesies (Tabel 1). Indonesia memiliki tiga ordo yaitu: Testudines, Squamata dan Crocodylia. Tuatara (Ordo Rhynchocephalia) merupakan reptil primitif yang terdiri dari 1 jenis dan hanya terdapat di Selandia Baru (O’Shea dan Halliday 2001). Reptil ini merupakan satwa yang masih sulit untuk bisa diketahui umurnya. Beberapa jenis kura-kura misalnya, bisa mencapai umur lebih dari 100 tahun (McLaren dan Rotundo 1985).
Ordo Testudines atau Testudinata, yang dalam bahasa lainnya adalah turtles dan tortoise, dalam bahasa Indonesia adalah kurakura (Obst 1998). Kura-kura berbeda dengan reptil lainnya, yaitu memiliki organ pelindung seperti perisai yang dinamakan karapas dan plastron. Testudines mencakup jenis yang hidup di laut, perairan darat, maupun darat. Testudines mewakili sekitar 4% dari seluruh jenis reptil di dunia (Halliday dan Adler 2000). Kura-kura air tawar cenderung bersifat omnivora, dan kura-kura darat merupakan herbivora (O’Shea dan Halliday 2001).  Kura-kura bintang Chitra chitra, Bajuku Callagur borneoensis dan Biuku Batagur baska maupun Kura-kura rote Chelodina mccordi yang saat ini sulit dijumpai di habitat aslinya (Shepherd & Ibarrondo 2007) ternyata mampu dikembangbiakkan di luar habitat aslinya. Beberapa pedagang yang pernah diwawancarai oleh IRATA (Indonesian Reptile and Amphibian Traders Association) menyatakan memiliki C. mccordi di tangkaran. Penyelamatan dalam bentuk program pengembangbiakan spesies-spesies prioritas perlu segera dilakukan sebelum kondisi genetik spesimen yang ada menurun. Penanganan spesies-spesies ini dapat ditangani sekaligus pada suatu pusat penyelamatan misalnya di Cikananga, tetapi diperlukan adanya persetujuan dan dukungan dari lingkungan akademisi agar pusat tersebut memiliki posisi tawar yang baik dan dapat melakukan aktivitas pencarian dana. Diharapkan dengan berhasilnya penangkaran maka di masa depan dapat dilakukan pengembalian kembali spesies kura-kura yang langka di habitat alaminya.
Ordo Crocodylia Buaya termasuk dalam ordo Crocodylia. Secara keseluruhan terdapat 22 jenis buaya dalam delapan genus dan tiga famili. Total jenis buaya di dunia sekitar 0,3% dari seluruh jenis reptil.   Ordo Crocodylia adalah satwa dengan kulit tebal dan bersisik. Buaya memiliki ekor yang besar dan rahang yang kuat. Mata dan lubang hidung buaya terletak di bagian atas kepala sehingga mereka dapat melihat mangsa ketika berada di air. Buaya memiliki jantung dan otak paling modern dibandingkan dengan reptil lainnya. Ukuran buaya dapat mencapai 7,5 m. Dua spesies buaya yang masuk dalam daftar prioritas yaitu Buaya siam Crocodylus siamensis dan Buaya sinyulong Tomistoma schlegeii telah masuk dalam daftar satwa dilindungi UU. Namun hanya T. schlegelii yang diketahui berada dalam kawasan dilindungi, sementara C. siamensis tidak diketahui dengan jelas apakah terdapat pada kawasan lindung.
Menurut Bauer (1998), ordo Squamata dibagi lebih lanjut menjadi tiga subordo, yaitu: Sauria/Lacertilia atau kadal; Amphisbaenia; dan Serpentes/Ophidia atau ular. Kadal merupakan kelompok terbesar dalam reptil. Kadal terdiri dari 3.751 jenis dalam 383 genus dan 16 famili, atau 51% dari seluruh jenis reptil (Halliday dan Adler 2000); (O’Shea dan Halliday 2001). Amphisbaenia terdiri dari 4 famili dan dibagi menjadi 21 genus dan 140 jenis, atau sekitar 2% dari seluruh reptil. Ular atau Serpentes terdiri dari 2,389 jenis, 471 genus, 11 famili atau sekitar 42% dari seluruh jenis reptil (Halliday dan Adler 2000). Berbeda dengan reptil-reptil yang lain, ular tidak memiliki kaki, kelopak mata, atau telinga eksternal. Seluruh tubuhnya tertutup oleh sisik (O’Shea dan Halliday 2001). Jumlah, bentuk dan penataan sisik pada ular dapat digunakan untuk identifikasi jenis (Mattison 1992). Hal yang sama juga pada spesies-spesies ular yang dilindungi, dimana hampir semuanya (kecuali P. curtus) merupakan spesies endemik pulau-pulau kecil yang tidak dilindungi oleh pemerintah. Diharapkan spesies- spesies ular prioritas ini mendapat perlindungan, setidaknya pada habitat aslinya.
Matisson (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan mahluk hidup dengan lingkungannya adalah suhu, panas, cahaya matahari dan kelembaban. Penyebaran reptil di dunia dipengaruhi oleh jumlah cahaya matahari pada daerah tersebut (Halliday dan Adler 2000). Pepohonan merupakan bagian yang sangat penting pada habitat reptil karena berperan dalam membedakan karakteristik setiap habitat dan mempengaruhi ciri-ciri fisik suatu lingkungan. Pada areal hutan, pepohonan berperan sebagai pengendali iklim mikro, pengatur suhu dan kelembaban (Goin dan Goin 1971). Selanjutnya Primack et al. (1998) mengatakan bahwa komposisi komunitas dan keanekaragaman jenis reptil lebih tinggi pada dataran rendah dibandingkan dengan dataran tinggi dan kelimpahan jenis reptil semakin berkurang dengan bertambahnya ketinggian. 

2. Kupu-kupu
    
Kupu-kupu (Lepidoptera) adalah kelompok serangga holometabola sejati dengan siklus hidup melalui stadium telur, larva (ulat), pupa (kepompong), dan imago (dewasa) (New 1997; Mastrigt & Rosariyanto 2005; Peggie & Amir 2006). Kupu-kupu dapat dengan mudah kita lihat bila memasuki hutan, di jalan setapak di pinggiran hutan, dan sepanjang aliran sungai (Tweedie & Longmans 1953).
Di dalam suatu ekosistem kupu-kupu memiliki peranan yang sangat penting. Kupu-kupu membantu penyerbukan tanaman berbunga, sehingga proses perbanyakan tumbuhan secara alamiah dapat berlangsung (Borror et al. 1992; Peggie 2010). Selain itu, kupu-kupu yang memiliki corak dan warna menarik dapat dijadikan koleksi seni. Di beberapa daerah, kupu-kupu pada tahap larva dimanfaatkan sebagai sumber makanan (Borror et al. 1992; Gullan & Craston 2005). Kupu-kupu dapat pula menjadi bahan pelajaran untuk kepentingan studi ilmiah (Subahar & Yuliana 2010).
Lepidoptera dibagi menjadi tiga subordo, yaitu Rhopalocera (kupu-kupu), Grypocera (skipper) dan Heterocera (ngengat) (Roepke 1932). Seiring dengan berkembangnya taksonomi Lepidoptera, Grypocera dimasukkan dalam subordo Rhopalocera, sehingga Lepidoptera hanya terbagi menjadi dua subordo, yaitu Heterocera (ngengat) dan Rhopalocera (kupu-kupu dan skipper) (Borror 1992, Scobel 1995, Gillott 2005). Klasifikasi Rhopalocera menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum     : Arthropoda
Class         : Insecta
Ordo         : Lepidoptera
Subordo   : Rhopalocera
Subordo Rhopalocera terdiri dari dua superfamili, yaitu Hesperioidea (skipper) dan Papilionoidea (kupu-kupu yang sesungguhnya) (Sihombing 2002). Rhopalocera adalah serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Holometabola), karena Rhopalocera biasanya memiliki bentuk pradewasa (larva dan pupa) yang sangat berbeda bentuk dewasa (imago) (Jumar 2000). Kupu-kupu mengalami empat fase selama hidupnya, yaitu fase telur, larva, pupa dan imago. Setelah melakukan perkawinan, kupu-kupu betina akan mencari tumbuhan inang yang spesifik untuk meletakkan telur-telurnya. Telur-telur tersebut diletakkan secara satu per satu atau berkelompok pada permukaan daun. Sebagian besar kupu-kupu dapat menghasilkan hingga ratusan telur, tapi hanya sekitar dua persennya saja yang dapat tumbuh menjadi kupu-kupu dewasa (Sihombing 2002). Lalu masa larva, merupakan fase yang sangat aktif melakukan aktivitas makan yang diperlukan larva untuk tumbuh dan berkembang. Selama stadium larva, umumnya kupu-kupu akan mengalami lima kali penggantian kulit kitin (molting). Banyaknya frekuensi molting berbeda-beda, tergantung pada jenis kupu-kupu dan kondisi kesehatan larvanya (Jumar,2000). Fase pupa merupakan fase ketika larva istirahat. Pupa merupakan bentuk peralihan yang dicirikan dengan terjadinya perombakan dan penyusunan kembali alat-alat tubuh bagian dalam dan luar (Jumar 2000). Fase ini merupakan masa persiapan sebelum terjadi pergantian kulit yang tetap pada fase imago (Achmad 2002). Larva yang akan mengalami proses metamorfosis dari bentuk larva menjadi bentuk pupa (pupasi), terlebih dahulu akan mengalami proses prapupa. Imago adalah fase dewasa dari Lepidoptera, dan merupakan fase berkembang biak.
Habitat kupu-kupu ditandai dengan tersedianya tumbuhan inang untuk pakan larva, serta tumbuhan penghasil nektar bagi imagonya (Soekardi 2007). Apabila kedua tumbuhan ini tersedia di suatu habitat, maka memungkinkan kupukupu dapat melangsungkan hidupnya dari generasi ke generasi di habitat tersebut. Bila hanya salah satunya saja yang tersedia, maka kupu-kupu tidak dapat melangsungkan kehidupannya. Apalagi jika kedua tumbuhan inangnya tidak ada. Habitat kupu-kupu adalah tempat lembab yang memiliki banyak vegetasi bunga, badan-badan perairan dan banyak mendapat sinar matahari. Sebagian besar jenis hidup di lahan bera atau menganggur, kebun buah, areal pertanian, hutan primer dan sekunder (Sihombing 2002). Lepidoptera tersebar dari dataran rendah sampai ketinggian 750 mdlp, bahkan ada yang dapat hidup sampai pada ketinggian 2.000 mdpl (Sihombing 2002).
Troides helena merupakan jenis kupu-kupu yang dilindungi oleh SK Mentan No.576/Kpts/Um/8/1980; PP.No.7 Tahun 1999, SK Mentan No.716/Kpts/ Um1/10/1980 dan termasuk ke dalam CITES Apendiks II (Noerdjito dan Aswari 2003). Keberadaan Troides helena dan beberapa jenis kupu-kupu lain, khususnya dari famili Papilionidae ini mulai terancam punah di alam, karena diburu manusia untuk diperjualbelikan, ataupun karena penurunan kualitas habitat-kupu di alam. Keberadaan tumbuhan inang kupu-kupu jenis ini yaitu Thottea (Thottea sp.) dan Sirih hutan (Aristolochia sp.) mulai langka di alam, sehingga kupu-kupu yang menggunakan tumbuhan ini sebagai inangnya terancam tidak dapat memperoleh makanan. Diamana jenis kupu-kupu tersebut berada pada kawasan Cagar Alam Ulolanang Kecubung, Semarang.



Sumber :
Darmawan, Bobby. 2008. Keanekaragaman Amfibi Di Berbagai Tipe Habitat : Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. http://202.153.132.136/hadiruntukmu/fahutanipb/BOBY%20DARMAWAN_E34103018.pdf. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yusuf, Lutfi R. 2008. Studi Keanekaragaman Reptil Di Berbagai Tipe Habitat: Di Eks-Hph Pt Rki Kabupaten Bungo Propinsi Jambi. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11151/Yusuf.%20Luthfi%20Ramdani_E2008.pdf;jsessionid=1101F7CE41F09DAE26441AD1570E33E3?sequence=2. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sulistiany, Teguh H. 2013. Keanekaragaman Jenis Kupu-Kupu di Kawasan Cagar Alam Ulolanang Kecubung. http://lib.unnes.ac.id/20189/1/4450407009.pdf. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
https://alasyjaaripb.files.wordpress.com/2008/11/pengenalan-herpetofauna_2008.doc. Diakses tanggal 3 febuari 2016.
http://unikonservasifauna.org/2011/02/herpetofauna/. Diakses tanggal 3 febuari 2016.

http://tnalaspurwo.org/herpetofauna.html. Diakses tanggal 3 febuari 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

contoh cerpen, pengalaman orang lain

Menenangkan Otak serta Pikiran

Cerita Rakyat : gunung telunjuk